Langsung ke konten utama

PAUD, HARUSKAH ?

Rangkaian status twitter dari dr. Jiemi Ardian, seorang residen psikiatri dan hipnoterapis, pada 5 Januari 2018, tentang PAUD,  mendatangkan pro dan kontra. “PAUD itu bukan pendidikan anak, PAUD itu bisnis atas nama pendidikan anak,” demikian twit pertama yang ditulis dr. Jiemi. Sekanjutnya dia mengatakan bahwa anak di bawah 4 tahun tidak akan bisa berpikir formal serta tidak akan paham mengenai tugas dan sekolah.
 “Anak usia segitu nggak bisa sosialisasi. Mereka bisa bermain sama-sama, tetapi enggak bisa bermain bersama. Contohnya, anak berpikir ‘mainan saya ya punya saya, mainan dia punya dia’. Bisa bermain bareng, tapi bukan sharing mainan. Orang-orang memandang sosialisasi sebatas bermain bareng, padahal dalam sosialisasi, yang perlu dipelajari adalah sharing.”  Selain biaya mahal yang dibanderol sebagian PAUD, dr. Jiemi juga mempermasalahkan kurikulum PAUD yang memaksa anak untuk bisa membaca dan menulis ketika mereka belum siap secara mental. Alih-alih mendelegasikan pengajar PAUD untuk mendidik anak usia dini, dr. Jiemi lebih menyarankan orangtua yang mengambil peran ini.
Sebenarnya pendapat dr. Jiemi ini, sama dan senada dengan tulisan Elly Risman,S.Psi  yang berjudul “Jika Anak Sekolah Terlalu Dini” tahun 2016 lalu. Beberapa kalimatnya bahkan mirip. Jadi sebenarnya kontroversi tentang penting tidaknya PAUD tersebut bukan suatu hal baru lagi.
Sebelum menolak atau menyetujui pilihan menyekolahkan anak di PAUD, kita  perlu memahami dulu definisi PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) itu sendiri. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 1 ayat  14 disebutkan, “Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.”
Pada pasal 28 disebutkan bahwa penyelenggaraan PAUD bisa diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal (TK, RA). Non Formal (Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak, Satuan PAUD Sejenis lainnya), dan Informal (Pendidikan Keluarga),
Pihak yang menyelenggarakan PAUD dapat berupa orang perseorangan, kelompok, badan hukum, atau pemerintah. Sederet persyaratan untuk mendirikan PAUD mulai dari perkara konten pengajaran dan standar kualifikasi pengajar pun telah ditetapkan pemerintah.
Sering kali orang menganggap kata “pendidikan”  itu terkait dengan hal-hal bersifat kognitif.  Padahal, pendidikan merupakan upaya untuk mengoptimalkan aspek-aspek perkembangan anak, termasuk di dalamnya perkembangan agama dan moral. Sosial emosional, Bahasa, Fisik Motorik, Kognitif dan Seni. Semua aspek tersebut distimulasi sesuai dengan tahapan usia anak, keunikan anak dan lingkungan dimana anak tinggal. Jika tujuan pendidikan anak usia dini seperti demikian, maka wajin dilakukan, baik oleh orangtua, lingkungan maupun pendidik dalam lembaga PAUS. Namun apakah hal ini dapat dilakukan oleh orangtua saja atau meminta bantuan orang lain di lembaga PAUD, itu adalah sebuah  pilihan.
Di lapangan, sering ada ketidak sesuaian visi, misi dan tujuan antara orang tua dan pihak lembaga PAUD dalam mendidik anak.  Kemudian sebagian orang tua melihatnya sebagai kegagalan sebuah institusi pendidikan, khususnya lembaga PAUD.
Opini pukul rata kondisi PAUD ini juga bisa didukung oleh kemampuan media sosial dalam menyebarkan protes dan pendapat yang belum dibuktikan lewat penelitian. Sebagai contoh, dari twit dr. Jiemi tentang komersialisasi PAUD. Padahal di beberapa daerah, ada PAUD yang justru kekurangan sarana prasarana  dan membutuhkan bantuan.
Tidak semua PAUD yang ada di kota juga mementingkan komersialisasi. Persoalan sekarang, orang mudah sekali menggeneralisasi. Ada PAUD yang terjebak dalam komodifikasi pendidikan memang betul, dan itu tidak hanya di kota besar. Namun sebenarnya untuk menyelenggarakan lembaga PAUD perlu didukung pembiayaan dari masyarakat dalam proses belajar mengajarnya. Walaupun ada saja ditemukan permasalahan-permasalahan di beberapa PAUD, bukan berarti seluruh penyelenggaraan PAUD mesti ditolak.
Pendidikan terbaik untuk  anak adalah dari orangtua dan keluarga, untuk mengembangkan aspek-aspek perkembangan anak secara optimal.  Utamanya adalah ayah dan ibu.. Peran orangtua  sangat signifikan bagi perkembangan anak usia dini. Apabila memang memungkinkan orantua untuk bisa mendidik dan mengasuh anak usia dini mereka sesuai dengan teori perkembangan yang ada, maka tidak perlu memasukkan anak ke lembaga PAUD. Namun, tidak semua orangtua bisa menyediakan waktu banyak untuk berinteraksi dengan anak-anaknya, terlebih ketika mereka terikat dengan pekerjaan kantor. Inilah yang bisa menjadi faktor pendorong menyekolahkan anak di PAUD. Yang terpenting, jangan kemudian menyerahakan pendidikan anak 100% ke PAUD.
Memilih pendidikan PAUD bukan sesuatu yang sepenuhnya salah apabila diperhatikan beberapa hal, seperti (1) PAUD yang dipilih merupakan sekolah yang mengoptimalkan peran orang tua dalam proses, (2) Orang tua tetap bertanggung jawab pada pertumbuhan dan perkembangan anak, yang kemudian dikomunikasikan dengan PAUD yang dipilih, dan (3) Orang tua memanfaatkan waktu sebaik-baiknya ketika bersama anak.
Mengutip kata-kata  Prof. Neil Postman dalam bukunya “The Disappearance Childhood “  yang menyebutkan : “ Jangan kau cabut anak-anak  dari dunianya terlalu cepat, karena kau akan mendapatkan orang dewasa yang kekanakan”. Kebutuhan Anak Usia Dini adalah Bermain dan Terbentuknya Kelekatan.
Pendidikan Anak Usia Dini adalah Keharusan, Tapi Masuk Lembaga PAUD adalah Pilihan.



by : Baldwine Honest Gunarto-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HARI PERTAMA SEKOLAH

Mengantar  anak ke sekolah untuk pertama kalinya mungkin menimbulkan serangkaian emosi orangtua. Bisa jadi kita merasa bangga, bergairah, dan bahagia. Jika selama ini anak selalu bersama kita di rumah, mungkin kita merasa lega, sebab dalam beberapa hari dalam seminggu, kita memiliki jam-jam bebas. Dan kadang kita mungkin merasa bersalah dengan pikiran seperti itu. Kita mungkin khawatir anak kita belum siap ke sekolah, secara emosional dan perkembangnannya. Kita mungkin merasa sedih karena anak kita bukan lagi seorang bayi. Ya, mereka memang masih kecil, tetapi mereka sudah cukup umur untuk masuk sekolah dan itu menandai tahapan baru kehidupannya. Kita mungkin mengalami perasaan-perasaan ini semuanya sekaligus, sebagian, atau tidak sama sekali. Atau mungkin bisa saja kita merasakan semuanya pada saat yang sama, atau berganti-ganti. Minggu-minggu sebelum sekolah dimulai, anak kita mungkin mengalami bermacam-macam emosi. Mereka mungkin bergairah, bingung, cemas, bahkan tertegun. Me...

DENGAN PUJIAN, ANAK BELAJAR MENGHARGAI

Pujian adalah salah satu cara kita mengekspresikan kasih sayang kita. Kata-kata pujian bisa memotivasi anak dan membuat mereka merasa dihargai. Pujian memupuk harga diri mereka, dan membantu mereka belajar menghargai siapa mereka dan akan menjadi apa mereka nanti. Memuji anak-anak kita atas upaya-upaya maupun prestasi-prestasi mereka adalah salah satu tugas kita yang terpenting sebagai orangtua. Hendaknya kita tidak ragu-ragu memberikan pujian dengan murah hati. Tidak ada yang namanya terlalu banyak pujian dalam soal mendorong harga diri seorang anak. Dengan memuji, kita membantu anak-anak membangun kepercayaan diri yang dapat mereka manfaatkan ketika kita tidak hadir atau ketika mereka mengalami masa-masa sulit. Tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa pujian dan penghargaan yang kita berikan kepada anak-anak sekarang bisa bertahan seumur hidup. Ketika kita memuji anak-anak kita, kita juga memberi model tentang bagaimana caranya memperhatikan dan mengekspresikan penghargaan mere...

MENGATASI RASA PEMALU PADA ANAK

Ketika anak mulai mengenal dunia luar, selain keluarga dan lingkungan rumahnya, maka sifat pemalu anak akan terlihat. Ada anak yang terlalu pemalu, ada juga yang terlalu percaya diri.  Mengapa anak kita pemalu? Dan bagaimana mengatasinya? Beberapa situasi yang biasanya dialami anak menjadi pemalu adalah : Bertemu dengan orang yang baru dikenal, tampil didepan orang banyak, atau situasi baru (misalnya sekolah baru, pindah rumah baru). Pada dasarnya, pemalu bukanlah hal yang menjadi masalah atau dipermasalahkan dan bukan merupakan abnormalitas. Akan tetapi, masalah justru muncul akibat sifat pemalu. Misalnya, ketika berada di rumah teman/tetangga, anak ingin buang air kecil tapi malu minta ijin ke toilet,  anakpun menahan keinginan buang air dan akhirnya mengompol. Pemalu juga bisa mengakibatkan anak tidak bisa mengembangkan potensinya, misalnya anak mempunyai bakat menyanyi, tetapi karena pemalu, maka anak tidak mau tampil. Hal ini sangat disayangkan. Untuk mengatasi sifat...