Langsung ke konten utama

ANAK PENURUT, TIDAK SELALU BAIK

ANAK PENURUT, TIDAK SELALU BAIK



            Setiap orang tua pasti menginginkan anak-anak mereka tumbuh menjadi anak yang baik dan penurut. Di dalam masyarakat pun, anak yang penurut adalah anak yang bauk dan sopan. Namun benarkah demikian?
            Anak yang sangat penurut, biasanya cenderung pasif dan kurang mandiri. Mereka melakukan sesuatu setelah disuruh dan diperintah orangtuanya.  Anak penurut selalu mengiyakan perkataan orangtua tanpa membantah, dan justru hal tersebut salah satu faktor anak  rentan terhadap bully di luar rumah saat anak besar. Ini disebabkan anak tidak terbiasa mengutarakan pendapatnya sendiri pada orang lain. Oleh karena itu, apabila anak kita menolak melakukan sesuatu saat kita memintanya, orang tua mestinya berbangga karena sejak masih kecil, mereka sudah mampu berpendapat.
            Contohnya, saat kita meminta anak untuk berhenti bermain, mereka menolak. Sebaiknya kita jangan langsung memarahinya, bisa di mereka masih mau ingin bermain, atau bisa jadi belum bisa membereskan mainan merka sendiri. Kita bisa memberikan toleransi waktu bermain. Atau mendampingi dan mengajarkan mereka cara membereskan mainan dengan cara menyenangkan. Dengan berjalannya waktu mereka akan tahu aturan saat bermain.
            Atau contoh lain, saat anak tidak mau mandi, kita pun jangan langsung marah. Berikan perjanjian waktu, misalnya : “ Okey, nak.. 10 menit lagi ya mandinya”. Anak bisanya akan mengikuti kesepakatan yang sudah dibuat. Yang pasti, mereka sudah mengungkapkan pendapat mereka.
            Menurut psikolog, Dr. Seto Mulyadi, S.Psi, M.Si, Orangtua sebaiknya jangan pernah bermimpi untuk mempunyai anak yang penurut. Sebaiknya, bermimpilah mempunyai anak yang bisa di ajak berkerja sama. Kecerdasasan sosial emosial anak, penting kita ajarkan. Luangkan waktu kita untuk berkomunikasi secara terbuka dengan anak, menanyakan perasaan mereka tentang teman-temannya, gurunya, juga apa yang mereka harapkan dari kita sebagai orangtuanya. Dengan cara seperti ini, kita menghargai faktor emosi yang mereka miliki.
            Pola asuh yang menekan anak untuk menjadi penurut bukanlah hal baik untuk kehidupan anak selanjutnya, karena akan menghambat kemampuan anak dalam berpikir dan menentukan sikap yang tepat, meskipun mereka benar.  Apalagi disertai kekerasan dan ancaman apabila anak tidak menurut. Kepatuhan yang didasari rasa takut bisa berakibat buruk pada kepribadian dan kehidupan sosial anak.
            Pola asuh yang sebaiknya kita terpakan adalah pola asuh demokratis.  Kita mendengar pendapat anak, dan mengarahkan sesuai kesepakatan aturan. Anak akan menjadi percaya diri untuk mengikuti aturan, bukan karena terpaksa, tapi karena orangtua selalu mendengatkan pendapat mereka. Anak akan menjadi terbuka, sosok yang riang, serta kooperatif dan mandiri.

by : Baldwine Honest G, M.Pd
Dimuat di harian Tribun Kaltim, Minggu, 28 Oktober 2018


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENDIDIK ANAK SECARA MENYELURUH

Di dalam diri seorang anak, terdapat tiga daya yang harus dikembangkan. Yaitu daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif). Menurut tokoh pendidikan kita Ki Hajar Dewantara, untuk menjadi manusia seutuhnya, ketiga daya tersebut harus diwujudkan dan dikembangkan. Atau sesuai dengan ungkapan “educate the head, the heart, and the hand !” . Head, berarti anak cerdas ilmu pengetahuan, Heart berarti cerdas karakternya, dan Hand, anak bisa terampil dan berkembang motoriknya.             Orangtua yang baik, adalah orangtua yang bisa mendidi anak-anaknya berkembang optimal, baik head, heart, maupun hand nya. Untuk anak usia dini, tentu saja dengan kegiatan yang menyenangkan, pembiasaan kegiatan-kegiatan yang baik, menjadi model terbaik bagi anak, dan dengan aktivitas yang menggunakan semua indra anak.              Keterlibatan dan kasih sayang orangtua, baik peran ayah dan ibu  sangat mempengaruhi perkembangan dan kecerdasan anak. Mereka harus melibatkan diri sec

Anak yang “Bossy”

            Pernahkah bertemu dengan anak yang suka memerintah siapa saja untuk memenuhi keinginannya? Jika tidak terpenuhi, maka anak tersebut akan berteriak-teriak. Wajarkah perilaku tersebut ? Banyak anak bertingkah seperti layaknya bos dan suka memerintah orang tua, kakak atau teman sebayanya. Meskipun terlihat alami dan jujur, tapi perilaku yang suka memerintah (bossy) ini tidak bisa ditoleransi. Karena jika sifat tersebut tidak berubah, anak akan mengalami kesusahan untuk bisa mendapatkan teman. Dan hal ini akan memicu anak melakukan kekerasan agar mendapat perhatian atau bisa diterima. Sifat “bossy” tersebut biasanya disebabkan oleh perasaan ego. Menurut teori dari Jean Piaget, fase egosentrisme umumnya muncul pada usia 15 bulan, disebabkan oleh ketidakmampuan anak melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain. Jadi semua masalah akan diteropong dari sudut pandang anak. Misalnya, saat anak merebut mainan temannya, meskipun temannya menangis, ia tidak peduli, karena ia

KEBUTUHAN AFEKSI PADA ANAK

KEBUTUHAN AFEKSI PADA ANAK             Afeksi adalah suatu bentuk kebutuhan cinta dan kasih sayang yang di dalamnya terdapat unsur memberi dan menerima. Afeksi dapat meliputi perasaan kasih sayang, rasa kehangatan dan persahabatan yang ditunjukkan pada orang lain. Setiap orang mempunyai kebutuhan untuk memberi dan menerima afeksi. Saat yang paling penting dalam pemenuhan kebutuhan afeksi adalah pada saat usia dini. Karena, kekurangan afeksi saat usia dini dapat membahayakan perkembangan anak hingga dewasa.             Seorang anak, sejak lahir membutuhkan kasih sayang dari lingkungan terdekatnya. Kita sebagai orang tua harus bisa memenuhi kebutuhan tersebut, dan akan lebih baik sejak anak kita berada di dalam kandungan.             Namun, bisa saja karena suatu hal, anak tidak terpenuhi kebutuhan afeksi tersebut. Bisa jadi karena orang tua mereka dalam kondisi tertekan, tidak bahagia, tidak harmonis, atau berada di lingkungan yang kurang memberikan kasih sayang yang penuh