Langsung ke konten utama

Mengendalikan Emosi Diri


Mengendalikan Emosi Diri




Membersamai anak tanpa amarah adalah suatu tantangan, bukan hanya sekedar angan. Anak tidak membutuhkan orangtua sempurna, mereka hanya ingin bahagia.

            Tidak ada sesuatu yang sempurna, pun diri kita sebagai orangtua. Ada suatu saat dimana kita tidak bisa mengendalikan emosi kita, dan anak kitalah sasarannya. Misalnya, kita meniginginkan anak kita untuk mandiri. Dan saat anak mengambil minum, tanpa sengaja gelasnya pecah. Secara spontan kita akan marah, tanpa lebih dulu mendengar penjelasan anak. Dampaknya, selain anak merasa sangat bersalah, maka proses kemandiriannya akan sia-sia. Anak akan takut untuk mengambil minum sendiri. Rasa Percaya Diri anak akan menurun drastis.
            Berdasarkan penelitian yang dilakukan Lise Gilot dari Fakultas Kedokteran Chicago, memarahi anak dapat mengganggu struktur otak anak. Suara keras dan bentakan dari orang tua dapat menggugurkan sel otak yang sedang tumbuh. Kemarahan membuat anak tidak percaya diri serta taku untuk melakukan sesuatu.
            Menurut Dr. Laura Markham, seorang psikolog dan penulis buku Peacefull Parent, Happy Kid, kemarahan orang tua juga bisa disebut “tantrum”. Sebutan yang sama ketika anak mulai berteriak atau kondisi saat anak sulit mengendalikan emosi karena suatu hal. Emosi marah adalah wajar, tetapi mengendalikan proses marah pada diri sendiri dan keluargasangat penting untuk pendewasaan sebagai orang tua.
Beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk mengendalikan emosi adalah :
1.      Cek sinyal tubuh sebelum marah.
Ini penting bagi orang tua. Kondisi badan yang lelah, kurang sehat, atau mengantuk akan menjadi pemicu orang tua menjadi lebih sensitif. Hal yang dapat dilakukan adalah istirahat yang cukup, dan berusaha tenang saat ada kondisi yang memancing emosi kita.
2.      Menenangkan diri.
Setiap orang tua memiliki cara berbeda untuk mengendalikan diri saat marah. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah berhenti atau diam, menarik nafas dan mengubah mindset bahwa ini bukan kondisi emergency. Tulis di dinding rumah, “Ambil Wudhu Saat Marah” mungkin bisa membantu. Saat ada peristiwa yang memancing emosi kita, bergegas kita kita ke kamar mandi dan mengambil air wudhu.
3.      Mendengarkan.
Saat kondisi sudah tenang, berilah waktu pada anak untuk berbicara. Dan dengan penuh kesadaran, kita dengarkan. Komunikasi yang baik akan menemukan solusi yang lebih baik.
4.      Perkuat hubungan dengan anak.
Terus berusaha menjadi pribadi yang dekat dan akrab dengan anak.

Saat orang tua bisa mengendalikan emosinya dengan baik, maka karakter dan jiwa anak akan terbentuk secara positif. Anak adalah anugerah Tuhan yang menjadikan kita belajar tentang cinta, kebijaksanaan dan kelembutan.

by : Baldwine Honest Gunarto, M.Pd
Dimuat di harian Tribun Kaltim, Minggu, 2 September 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENDIDIK ANAK SECARA MENYELURUH

Di dalam diri seorang anak, terdapat tiga daya yang harus dikembangkan. Yaitu daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif). Menurut tokoh pendidikan kita Ki Hajar Dewantara, untuk menjadi manusia seutuhnya, ketiga daya tersebut harus diwujudkan dan dikembangkan. Atau sesuai dengan ungkapan “educate the head, the heart, and the hand !” . Head, berarti anak cerdas ilmu pengetahuan, Heart berarti cerdas karakternya, dan Hand, anak bisa terampil dan berkembang motoriknya.             Orangtua yang baik, adalah orangtua yang bisa mendidi anak-anaknya berkembang optimal, baik head, heart, maupun hand nya. Untuk anak usia dini, tentu saja dengan kegiatan yang menyenangkan, pembiasaan kegiatan-kegiatan yang baik, menjadi model terbaik bagi anak, dan dengan aktivitas yang menggunakan semua indra anak.              Keterlibatan dan kasih sayang orangtu...

Anak yang “Bossy”

            Pernahkah bertemu dengan anak yang suka memerintah siapa saja untuk memenuhi keinginannya? Jika tidak terpenuhi, maka anak tersebut akan berteriak-teriak. Wajarkah perilaku tersebut ? Banyak anak bertingkah seperti layaknya bos dan suka memerintah orang tua, kakak atau teman sebayanya. Meskipun terlihat alami dan jujur, tapi perilaku yang suka memerintah (bossy) ini tidak bisa ditoleransi. Karena jika sifat tersebut tidak berubah, anak akan mengalami kesusahan untuk bisa mendapatkan teman. Dan hal ini akan memicu anak melakukan kekerasan agar mendapat perhatian atau bisa diterima. Sifat “bossy” tersebut biasanya disebabkan oleh perasaan ego. Menurut teori dari Jean Piaget, fase egosentrisme umumnya muncul pada usia 15 bulan, disebabkan oleh ketidakmampuan anak melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain. Jadi semua masalah akan diteropong dari sudut pandang anak. Misalnya, saat anak merebut mainan temannya, meskipun temannya menangi...

Memahami Sudut Pandang Anak

Tribun Kaltim, 08 Januari 2018 Belajar merupakan upaya untuk menguasai sesuatu yang baru serta perubahan perilaku dari individu yang relatif permanen karena suatu pengalaman, bukan karena kematangan biologis semata. Dari pengertian tersebut, berarti konsep belajar pada anak usia dini ada dua hal yang terpenting, yaitu Mengalami (dengan interaksi), dan Perubahan. Perubahan yang dimaksud adalah : Dari tidak tahu menjadi tahu (perubahan pengetahuan),  dari tidak bisa menjadi bisa (perubahan cara berfikir), dari tidak mau menjadi mau (perubahan prilaku), dan dari tidak biasa menjadi terbiasa (perubahan prilaku) Anak-anak memiliki sudut pandang yang tak selalu sama dengan orang dewasa. Jika kita dapat melihat sudut pandang anak, itu akan meningkatkan efektivitas komunikasi kita dengan mereka. Dalam konteks belajar, itu juga akan membuat kita bisa memberikan pendekatan yang tepat untuk membuat mereka menikmati hari-harinya dan senang belajar. 1. Anak tertarik dengan  se...