Langsung ke konten utama

Kasihan sepedanya kedinginan, ma…


Mungkin anak kita pernah berkata demikian. Anak yang terlalu sayang kepada sepedanya, merasakan bahwa sepedanya kedinginan saat hujan tiba. Ada juga anak yang merasa bonekanya kesepian sehingga harus ditemani bermain. Ada juga anak yang tidak mau berpisah dengan selimutnya, walaupun selimutnya sudah sangat butut. Wajarkah anak berperilaku demikian ?
Anak usia di bawah lima tahun melewati fase animisme yakni fase dimana ia memiliki ketertarikan pada benda-benda mati dan menganggapnya hidup. Sebagaimana teori yang dikembangkan oleh tokoh psikologi, Jean Piaget, anak-anak yang berada pada fase animisme cenderung berpikir bahwa semua objek tak bergerak atau tak hidup yang ada di lingkungannya memiliki kemampuan seperti halnya manusia atau makhluk hidup, yaitu dapat bertindak atau berperilaku, berbicara, diajak berdialog, kedinginan, kesepian, dan sebagainya. Mereka juga berpikir bahwa benda-benda tersebut bisa melindungi dan merasakan apa yang anak rasakan.
Piaget juga menyebut fase animisme sebagai istilah lain tahap pemikiran praoperasional pada usia anak-anak. Salah satu cirinya, anak masih berpikir secara egosentris, ditandai oleh ketidakmampuan untuk memahami perspektif atau sudut pandang orang lain. Akibatnya, ia tak  peduli apakah mau asyik berbicara dengan mainannya, atau malah marah-marah pada mainannya sendiri. Pada fase ini, pola berpikirnya belum menyentuh realita, sehingga masa ini kerap disebut tahap realisme, yaitu kecenderungan untuk menanggapi segala sesuatu sebagai hal yang riil atau nyata.
Di sisi lain, daya imajinasi anak pun semakin berkembang beriringan dengan kemampuan berbahasanya. Ia mampu mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya, mulai dapat mengombinasikan beberapa kata, dan mulai memahami kalimat-kalimat sederhana. Jangan heran kalau anak senang mengajak ngobrol  mainannya. Kemampuan motoriknya juga sedang berkembang pesat, sehingga ia senang mengutak-atik mainannya. Ini merupakan hasil dari rasa ingin tahu yang tinggi. Jadi, pada fase animisme ini anak sedang berupaya untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, dengan objek berupa benda-benda tersebut.
Namun factor lingkungan yang paling berpengaruh. Anak meniru dari apa yang dilihatnya. Maka tidak heran, saat anak melihat ibunya memasak, maka dia akan bermain masak-masakan bersama bonekanya, Saat melihat ayahnya memperbaiki mobil, maka anak akan ikut membongkar mainannya.
Seiring pertambahan usia, sebagai hasil dari kemampuan berpikir yang semakin berkembang dan matang, fase animisme ini akan hilang dengan sendirinya. Namun, banyak pembelajaran positif yang dapat dipetik dari periode animisme ini:
* Mengembangkan imajinasi.
Dengan mengajak berbicara benda-benda tak hidup, secara otomatis anak belajar mengembangkan kemampuan berimajinasi. Berbicara  dengan benda mainan mereka juga seolah merasakan apa yang dialami benda-benda di sekitarnya merupakan hasil dari rasa ingin tahu anak dalam upaya menalar apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya.  Begitu juga dengan minatnya memperhatikan sungguh-sungguh, bahkan mencoba mengutak-atik mainan yang dianggapnya bisa hidup itu, juga sekaligus memuaskan rasa ingin tahunya. Nah,  makin terasahnya daya imajinasi, pada akhirnya dapat menumbuhkembangkan daya kreativitas anak.
* Meningkatkan kemampuan berbahasa.
Karena sering “berdialog” dengan bonekanya, mobil-mobilannya, dan benda-benda mati lainnya, otomatis akan mengasah kemampuan berbahasa atau berkomunikasi anak. Bukan hanya kosakatanya akan bertambah, anak pun akan memperoleh pengetahuan mengenal hal-hal baru.
* Belajar memecahkan masalah.
Saat “berinteraksi” dengan benda-benda yang dianggapnya hidup itu, ia juga sekaligus belajar memecahkan masalah. Contoh, ketika mobil remote control tersebut tak mau bergerak, maka si mobil tidak bisa makan seperti dirinya, namun cara makannya berbeda yaitu karena baterainya harus di-charge dulu. Jadi, anak dapat menemukan ide, usulan, atau mengajukan pandangannya dalam mengatasi “masalah” yang dialami benda yang diajaknya bicara itu.

            Fase animisme tidak bisa dihilangkan dalam tahap perkembangan anak kita. Kita sebagai orangtua harus memahami dan bisa memanfaatkan pembelajaran positif  yang ada di dalamnya.


 Oleh Baldwine Honest Gunarto, ST, M.Pd
Dimuat di hariam TRIBUN KALTIM



Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENDIDIK ANAK SECARA MENYELURUH

Di dalam diri seorang anak, terdapat tiga daya yang harus dikembangkan. Yaitu daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif). Menurut tokoh pendidikan kita Ki Hajar Dewantara, untuk menjadi manusia seutuhnya, ketiga daya tersebut harus diwujudkan dan dikembangkan. Atau sesuai dengan ungkapan “educate the head, the heart, and the hand !” . Head, berarti anak cerdas ilmu pengetahuan, Heart berarti cerdas karakternya, dan Hand, anak bisa terampil dan berkembang motoriknya.             Orangtua yang baik, adalah orangtua yang bisa mendidi anak-anaknya berkembang optimal, baik head, heart, maupun hand nya. Untuk anak usia dini, tentu saja dengan kegiatan yang menyenangkan, pembiasaan kegiatan-kegiatan yang baik, menjadi model terbaik bagi anak, dan dengan aktivitas yang menggunakan semua indra anak.              Keterlibatan dan kasih sayang orangtu...

Anak yang “Bossy”

            Pernahkah bertemu dengan anak yang suka memerintah siapa saja untuk memenuhi keinginannya? Jika tidak terpenuhi, maka anak tersebut akan berteriak-teriak. Wajarkah perilaku tersebut ? Banyak anak bertingkah seperti layaknya bos dan suka memerintah orang tua, kakak atau teman sebayanya. Meskipun terlihat alami dan jujur, tapi perilaku yang suka memerintah (bossy) ini tidak bisa ditoleransi. Karena jika sifat tersebut tidak berubah, anak akan mengalami kesusahan untuk bisa mendapatkan teman. Dan hal ini akan memicu anak melakukan kekerasan agar mendapat perhatian atau bisa diterima. Sifat “bossy” tersebut biasanya disebabkan oleh perasaan ego. Menurut teori dari Jean Piaget, fase egosentrisme umumnya muncul pada usia 15 bulan, disebabkan oleh ketidakmampuan anak melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain. Jadi semua masalah akan diteropong dari sudut pandang anak. Misalnya, saat anak merebut mainan temannya, meskipun temannya menangi...

Memahami Sudut Pandang Anak

Tribun Kaltim, 08 Januari 2018 Belajar merupakan upaya untuk menguasai sesuatu yang baru serta perubahan perilaku dari individu yang relatif permanen karena suatu pengalaman, bukan karena kematangan biologis semata. Dari pengertian tersebut, berarti konsep belajar pada anak usia dini ada dua hal yang terpenting, yaitu Mengalami (dengan interaksi), dan Perubahan. Perubahan yang dimaksud adalah : Dari tidak tahu menjadi tahu (perubahan pengetahuan),  dari tidak bisa menjadi bisa (perubahan cara berfikir), dari tidak mau menjadi mau (perubahan prilaku), dan dari tidak biasa menjadi terbiasa (perubahan prilaku) Anak-anak memiliki sudut pandang yang tak selalu sama dengan orang dewasa. Jika kita dapat melihat sudut pandang anak, itu akan meningkatkan efektivitas komunikasi kita dengan mereka. Dalam konteks belajar, itu juga akan membuat kita bisa memberikan pendekatan yang tepat untuk membuat mereka menikmati hari-harinya dan senang belajar. 1. Anak tertarik dengan  se...