Langsung ke konten utama

MENGAJARKAN HAK MILIK


            Kita sebagai orang tua maupun orang dewasa di sekitar anak harus cermat dalam menjelaskan hak atas setiap barang yang menjadi milik anak. Bahwa ada barang yang menjadi miliknya, dan ada barang yang milik orang lain, maupun milik umum. Kejelasan kepemilikan akan memberikan dampak positif pada beberapa hal, terutama pada persoalan tanggung jawab atas barang dan tenggang rasa ketika hendak meminjam barang orang lain.
            Anak yang tidak mendapatkan penjelasan tentang hak milik akan sulit untuk memahami mana barang milik sendiri dan mana barang milik orang lain. Kesulitan memahami makna kepemilikan ini akan membuat anak mudah bersikap egois, dan sering berebut barang yang bukan miliknya.
            Egosentrisme anak merupakan hal utama yang menyebabkan tumbuhnya arogansi ini. Dorongan ego yang sangat kuat dari dalam diri anak menyebabkan dirinya menyangka bahwa barang yang sedang menjadi rebutan adalah betul-betul miliknya. Anak belum mampu membedakan mana milik sendiri dan mana milik orang lain. Sehingga ketika orangtua mencoba untuk menjelaskan bahwa barang itu bukan miliknya, anak akan melawan. Kondisi ini sangat mirip dengan perilaku anak yang tidak bisa membedakan antara khayalan dan kenyataan. Namun kondisi tersebut akan terus berkurang seiring dengan berkurangnya masa egosentrisme anak.
            Karena egosentrisme adalah tahapan yang harus dilalui dalam masa perkembangan anak, ia tidak bisa ditiadakan. Ia hanya bisa diredam dan diantisipasi. Salah satu cara untuk mengantisipasi dampak negatif dari masa ini adalah dengan meperjelas kepemilikan terhadap benda-benda di sekitar anak.
            Pada satu sisi, kepemilikan yang jelas akan mendorong anak untuk memelihara barang-barang miliknya. Ini akan membantu menumbuhkan rasa tanggung jawab dalam diri anak. Sedangkan pada sisi lain, kepemilikan yang jelas ini akan memudahkan orang tua dalam melatih anak tentang bagaimana menghargai barang milik orang lain. Anak akan memiliki pengendalian diri yang kuat untuk tidak merebut barang orang lain meskipun saat itu ia begitu menginginkan.
            Berikut beberapa tipa yang bisa menjadi alternatif dalam mengajarkan anak tentang kepemilikan :
1.      Memberikan label untuk setiap benda milik anak.
Benda milik anak diberikan tanda bahwa itu adalah milik mereka, yang berbeda dengan milik kakak atau adiknya.
2.      Melatih anak cara merawat benda-benda miliknya.
Jika anak sudah merasa memiliki, akan ada dorongan untuk melindingi dan mengamankan semua barang miliknya. Ini bisa dijadikan langkah awal untuk melatih anak agar mampu merawat dan menjaga setiap barang yang menjadi tanggung jawabnya. Membuat tempat khusus untuk barang anak akan membiasakan anak menempatkan setiap barang tempatnya.
3.      Mendorong anak untuk suka berbagi.
Kepemilikan yang jelas akan memberikan rasa aman pada saat barang mereka dipinjam orang lain. Rasa aman akan memudahkan anak untuk meminjamkan barang milik mereka. Tumbuhkan empati dalam diri mereka tentang bagaimana perasaan mereka jika mereka tidak dipinjami oleh teman saat mereka ingin meminjam.
4.      Ajarkan anak bagaimana meminjam yang baik.
Empati juga bisa ditumbuhkan pada saat orang tua melatih anak tentang bagaimana cara meminjam yang sopan. Tidak merebut. Tidak pula memaksa dengan tangisan.

            Apabila anak sudah memahami tantang kepemilikan, maka saat berada di tempat umum atau bermain bersama teman di sekolah, mereka tidak lagi berebut. Dengan didampingi orang dewasa di sekitar anak, mereka akan mengerti bahwa mainan yang ada adalah milik umum atau milik sekolah yang bisa dipakai bersama-sama maupun bergantian, dan menjadi tanggung jawab bersama untuk merawat dan mengembalikan ke tempat semula.


 Oleh : Baldwine Honest Gunarto, M.Pd
Dimuat di Harian Tribun Kaltim, Minggu, 12 Maret 2017


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENDIDIK ANAK SECARA MENYELURUH

Di dalam diri seorang anak, terdapat tiga daya yang harus dikembangkan. Yaitu daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif). Menurut tokoh pendidikan kita Ki Hajar Dewantara, untuk menjadi manusia seutuhnya, ketiga daya tersebut harus diwujudkan dan dikembangkan. Atau sesuai dengan ungkapan “educate the head, the heart, and the hand !” . Head, berarti anak cerdas ilmu pengetahuan, Heart berarti cerdas karakternya, dan Hand, anak bisa terampil dan berkembang motoriknya.             Orangtua yang baik, adalah orangtua yang bisa mendidi anak-anaknya berkembang optimal, baik head, heart, maupun hand nya. Untuk anak usia dini, tentu saja dengan kegiatan yang menyenangkan, pembiasaan kegiatan-kegiatan yang baik, menjadi model terbaik bagi anak, dan dengan aktivitas yang menggunakan semua indra anak.              Keterlibatan dan kasih sayang orangtu...

Anak yang “Bossy”

            Pernahkah bertemu dengan anak yang suka memerintah siapa saja untuk memenuhi keinginannya? Jika tidak terpenuhi, maka anak tersebut akan berteriak-teriak. Wajarkah perilaku tersebut ? Banyak anak bertingkah seperti layaknya bos dan suka memerintah orang tua, kakak atau teman sebayanya. Meskipun terlihat alami dan jujur, tapi perilaku yang suka memerintah (bossy) ini tidak bisa ditoleransi. Karena jika sifat tersebut tidak berubah, anak akan mengalami kesusahan untuk bisa mendapatkan teman. Dan hal ini akan memicu anak melakukan kekerasan agar mendapat perhatian atau bisa diterima. Sifat “bossy” tersebut biasanya disebabkan oleh perasaan ego. Menurut teori dari Jean Piaget, fase egosentrisme umumnya muncul pada usia 15 bulan, disebabkan oleh ketidakmampuan anak melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain. Jadi semua masalah akan diteropong dari sudut pandang anak. Misalnya, saat anak merebut mainan temannya, meskipun temannya menangi...

Memahami Sudut Pandang Anak

Tribun Kaltim, 08 Januari 2018 Belajar merupakan upaya untuk menguasai sesuatu yang baru serta perubahan perilaku dari individu yang relatif permanen karena suatu pengalaman, bukan karena kematangan biologis semata. Dari pengertian tersebut, berarti konsep belajar pada anak usia dini ada dua hal yang terpenting, yaitu Mengalami (dengan interaksi), dan Perubahan. Perubahan yang dimaksud adalah : Dari tidak tahu menjadi tahu (perubahan pengetahuan),  dari tidak bisa menjadi bisa (perubahan cara berfikir), dari tidak mau menjadi mau (perubahan prilaku), dan dari tidak biasa menjadi terbiasa (perubahan prilaku) Anak-anak memiliki sudut pandang yang tak selalu sama dengan orang dewasa. Jika kita dapat melihat sudut pandang anak, itu akan meningkatkan efektivitas komunikasi kita dengan mereka. Dalam konteks belajar, itu juga akan membuat kita bisa memberikan pendekatan yang tepat untuk membuat mereka menikmati hari-harinya dan senang belajar. 1. Anak tertarik dengan  se...