Langsung ke konten utama

MENJADI "IBU" BAGI ANAK ORANG LAIN




            Seorang ibu, dalam mengasuh anak sendiri, pasti bertemu dengan anak orang lain.  Terkadang kita, mendapati diri dalam posisi harus mendisiplinkan anak orang lain. Apakah itu seorang bocah laki-laki di taman bermain yang selalu memaksa mendaki perosotan saat putri kita sedang mencoba meluncur turun, atau seorang gadis cilik tetangga yang  selalu meninju lengan anak kita setiap hari saat bermain di halaman. Akan ada saat dimana seorang ibu harus turun tangan dan mengambil tindakan atas anak orang lain.
            Sebenarnya kita berada dalam situasi yang membingungkan, karena berbagai sebab. Apakah kita membiarkan anak kita memecahlan sendiri masalah-masalah tersebut ? Ataukah perlu mencari orangtua anak yang mengganggu dan memintanya menangani keadaan ? Ataukah kita menegur sendiri si anak lain tersebut dan memintanya bermain di tempat lain ?
            Yang sebenarnya adalah, ketiga solusi di atas sama – sama benar dalam situasi tertentu. Anak kita bisa memecahkan sendiri masalahnya, asalkan dia tidak terluka, dan kadang-kadang memang lebih baik membiarkan demikian. Kalau anak kita sampai menangis, mungkin ada baiknya kita  mendekati kedua anak itu dan menjelaslan cara bersikap yang baik. Sebaiknya kita bersikap obyektif saat menjelaskan aturan mainnya, sehingga cukup untuk mengubah tingkah laku anak, dan tidak terasa pilih kasih.
            Namun, seandainya hal tersebut juga gagal, kita dapat melibatkan orang tua atau pengasuh si anak yang menimbulkan masalah tersebut. Hanya saja, ada sementara orang tua yang tersinggung apabila ada orang mengisyaratkan anak mereka bertingkah laku buruk.  Sebaiknya mengajak berbicara pada orangtua tersebut dengan ramah, dan mengajak berdiskusi. Dengan cara ini, yang difokuskan adalah memecahkan masalah, bukan menyalahkan si anak dan membuat orangtuanya merasa diserang.  Kita mesti berhati-hati dalam menyusun kata.
            Yang pasti, kita harus bisa menahan diri untuk tidak membentak anak orang lain, apalagi mencubit mereka, seperti kalau kita menahan diri untuk tidak membentak anak kita sendiri. Bersabar, dan mencari solusi yang tepat.  Kita bayangkan saja apabila anak kita berada di posisi yang mengganggu anak orang lain, bagaimana jika anak kita dibentak di perlakukan keras oleh orangtua anak tersebut.
            Anak-anak tidak mempunyai rasa dendam.  Bisa jadi hari ini mereka bertengkar, namun besok mereka akan lupa dan bermain bersama lagi.           
Semoga saja, kita semua dapat  menjadi ibu yang bijaksana, baik terhadap anak kita sendiri, maupun terhadap anak  orang lain.

Oleh : Baldwine Honest Gunarto, M.Pd
Dimuat di Tribun Kaltim, Minggu, 20 Agustus 2017


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENDIDIK ANAK SECARA MENYELURUH

Di dalam diri seorang anak, terdapat tiga daya yang harus dikembangkan. Yaitu daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif). Menurut tokoh pendidikan kita Ki Hajar Dewantara, untuk menjadi manusia seutuhnya, ketiga daya tersebut harus diwujudkan dan dikembangkan. Atau sesuai dengan ungkapan “educate the head, the heart, and the hand !” . Head, berarti anak cerdas ilmu pengetahuan, Heart berarti cerdas karakternya, dan Hand, anak bisa terampil dan berkembang motoriknya.             Orangtua yang baik, adalah orangtua yang bisa mendidi anak-anaknya berkembang optimal, baik head, heart, maupun hand nya. Untuk anak usia dini, tentu saja dengan kegiatan yang menyenangkan, pembiasaan kegiatan-kegiatan yang baik, menjadi model terbaik bagi anak, dan dengan aktivitas yang menggunakan semua indra anak.              Keterlibatan dan kasih sayang orangtu...

Anak yang “Bossy”

            Pernahkah bertemu dengan anak yang suka memerintah siapa saja untuk memenuhi keinginannya? Jika tidak terpenuhi, maka anak tersebut akan berteriak-teriak. Wajarkah perilaku tersebut ? Banyak anak bertingkah seperti layaknya bos dan suka memerintah orang tua, kakak atau teman sebayanya. Meskipun terlihat alami dan jujur, tapi perilaku yang suka memerintah (bossy) ini tidak bisa ditoleransi. Karena jika sifat tersebut tidak berubah, anak akan mengalami kesusahan untuk bisa mendapatkan teman. Dan hal ini akan memicu anak melakukan kekerasan agar mendapat perhatian atau bisa diterima. Sifat “bossy” tersebut biasanya disebabkan oleh perasaan ego. Menurut teori dari Jean Piaget, fase egosentrisme umumnya muncul pada usia 15 bulan, disebabkan oleh ketidakmampuan anak melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain. Jadi semua masalah akan diteropong dari sudut pandang anak. Misalnya, saat anak merebut mainan temannya, meskipun temannya menangi...

Memahami Sudut Pandang Anak

Tribun Kaltim, 08 Januari 2018 Belajar merupakan upaya untuk menguasai sesuatu yang baru serta perubahan perilaku dari individu yang relatif permanen karena suatu pengalaman, bukan karena kematangan biologis semata. Dari pengertian tersebut, berarti konsep belajar pada anak usia dini ada dua hal yang terpenting, yaitu Mengalami (dengan interaksi), dan Perubahan. Perubahan yang dimaksud adalah : Dari tidak tahu menjadi tahu (perubahan pengetahuan),  dari tidak bisa menjadi bisa (perubahan cara berfikir), dari tidak mau menjadi mau (perubahan prilaku), dan dari tidak biasa menjadi terbiasa (perubahan prilaku) Anak-anak memiliki sudut pandang yang tak selalu sama dengan orang dewasa. Jika kita dapat melihat sudut pandang anak, itu akan meningkatkan efektivitas komunikasi kita dengan mereka. Dalam konteks belajar, itu juga akan membuat kita bisa memberikan pendekatan yang tepat untuk membuat mereka menikmati hari-harinya dan senang belajar. 1. Anak tertarik dengan  se...