Banyak
penelitian menunjukkan betapa masa usia dini, yaitu masa lima tahun ke bawah,
merupakan golden ages (masa keemasan) bagi perkembangan kecerdasan anak. Salah
satu hasil penelitian menyebutkan bahwa pada usia 4 tahun kapasitas kecerdasan
anak telah mencapai 50%. Kapasitas
kecerdasan itu mencapai 80% di usia 8 tahun. Ini menunjukkan pentingnya
memberikan perangsangan pada anak usia dini, sebelum masuk sekolah formal (SD).
Dalam
masa golden age ini, anak-anak mengalami pertumbuhan yang luar biasa pada
koneksi otaknya dan juga mengalami beberapa periode kritis dalam pembentukan
koneksi tersebut. Namun, yang sering salah kaprah adalah adanya pandangan bahwa
periode kritis ini harus dimanfaatkan semaksimal mungkin, karena adanya
pemikiran memanfaatkan periode tersebut agar anak
lebih cepat, lebih baik, dan lebih banyak belajar dibandingkan dengan masa
kecil orang tuanya . Ada sebentuk kekhawatiran bahwa masa itu akan terlewatkan
sehingga proses pembelajaran akan lebih sulit dilakukan.
Padahal tidak demikian adanya tugas dari orangtua dalam
periode kritis ini adalah harus menjaga kesehatan anak dengan gizi seimbang,
imunisasi, dan menstimulasi aspek perkembangan anak sesuai dengan tahapan usianya,
dengan memanfaatkan seluruh indranya.
Jika dalam
masa periode kritis ini orangtua menjejali anak dengan berbagai materi
sekaligus, maka akan terjadi kekacauan pola di sana. Anak akan mengalami
kebingungan dalam proses penyambungan koneksinya , akibatnya, keterampilan yang
seharusnya dapat dikuasai dengan baik justru tidak mencapai tingkat yang
diinginkan. Anak akan menjadi tertekan, dan tidak bersemangat.
Berbeda jika proses pembelajarannya berlangsung tahap demi tahap, satu demi satu keterampilan, mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks maka pada akhirnya anak akan benar-benar menguasai keterampilan tersebut, tidak hanya sekedar mengenali dan memahami namun juga dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Anak belajar dari apa yang mereka alami dalam kehidupan, ibarat busa, mereka menyerap apa saja yang lingkungan berikan. Artinya anak akan belajar melalui apa yang dilihat, didengar, diraba, dicium dan dicicip pada saat ia sedang melakukan sesuatu yang bermakna bagi dirinya.
Berbeda jika proses pembelajarannya berlangsung tahap demi tahap, satu demi satu keterampilan, mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks maka pada akhirnya anak akan benar-benar menguasai keterampilan tersebut, tidak hanya sekedar mengenali dan memahami namun juga dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Anak belajar dari apa yang mereka alami dalam kehidupan, ibarat busa, mereka menyerap apa saja yang lingkungan berikan. Artinya anak akan belajar melalui apa yang dilihat, didengar, diraba, dicium dan dicicip pada saat ia sedang melakukan sesuatu yang bermakna bagi dirinya.
Pembiasaan
hal-hal baik adalah dimulai dari orangtua. Ketika orangtua berkata dan
berperilaku baik, maka anak akan mengikutinya. Misalnya, hanya sekedar bisa
membaca di usia dini tidak akan bermakna bagi anak. Namun jika membaca
sudah menjadi bagian dari kehidupan keluarga maka secara spontan anak akan
terdorong secara kuat untuk juga menjadikan kegiatan membaca sebagai bagian
dari kehidupannya.
Selain itu, jangan biarkan dunia bermain mereka hilang begitu saja dengan kegiatan “belajar” yang membosankan. Belajar bagi anak adalah melalui permainan. Inti dari bermain adalah "menyenangkan dan suka rela". Artinya, anak akan belajar memaknai secara positif berbagai materi maupun keterampilan jika dilakukan secara menyenangkan dan memang diinginkannya. Tekniknya sederhana, orang tua hanya perlu variasi metode dalam mengulang-ulang materi dan juga dalam menggunakan barang-barang di rumah yang sekiranya dapat membantu proses pembelajarannya.
Pada usia balita, otak yang benar-benar sedang berkembang pesat adalah di sisi bagian kanannya yang sangat berkaitan dengan imajinasi, pemaknaan, gambaran besar, dan lain sebagainya. Itulah sebabnya proses belajar yang menyenangkan, bermakna, dan dilakukan sesuai dengan keingingan dan kebutuhan anak adalah suatu hal yang penting dan terbaik dapat dilakukan.
Selain itu, jangan biarkan dunia bermain mereka hilang begitu saja dengan kegiatan “belajar” yang membosankan. Belajar bagi anak adalah melalui permainan. Inti dari bermain adalah "menyenangkan dan suka rela". Artinya, anak akan belajar memaknai secara positif berbagai materi maupun keterampilan jika dilakukan secara menyenangkan dan memang diinginkannya. Tekniknya sederhana, orang tua hanya perlu variasi metode dalam mengulang-ulang materi dan juga dalam menggunakan barang-barang di rumah yang sekiranya dapat membantu proses pembelajarannya.
Pada usia balita, otak yang benar-benar sedang berkembang pesat adalah di sisi bagian kanannya yang sangat berkaitan dengan imajinasi, pemaknaan, gambaran besar, dan lain sebagainya. Itulah sebabnya proses belajar yang menyenangkan, bermakna, dan dilakukan sesuai dengan keingingan dan kebutuhan anak adalah suatu hal yang penting dan terbaik dapat dilakukan.
Golden
age adalah masa yang penting, namun bukan berarti kita menjejali anak dengan
beragam hal yang belum tepat untuk usianya, dengan anggapan untuk kebaikan anak.
Bantu proses belajar anak, dengan bermain, dengan
contoh pembiasaan yang bermakna di lingkungan keluarga. Lakukan secara
menyenangkan, dan kreatiflah dalam memancing keinginan anak ...
Oleh : Baldwine Honest Gunarto, M.Pd
Dimuat di harian TRIBUN KALTIM, 09 April 2017
Komentar
Posting Komentar