Langsung ke konten utama

MENJADIKAN PRIBADI PEMAAF


Manusia memang tidak ada yang sempurna, kita sebagai orangtua pun pasti pernah melakukan kesalahan. Baik kepada suami, istri, tetangga, anak kita, dan lainnya. Terkadang kata maaf dan memaafkan  begitu mudah diucapkan, namun apabila tidak disertai dengan ketulusan hati,  sebenarnya tidak ada artinya. Mengajarkan anak menjadi Pribadi Pemaaf bisa kita lakukan, namun dengan syarat., kita harus bisa menjadi Pribadi Pemaaf terlebih dahulu, dan menjadi model  buat mereka.
Sebagai contoh misalnya : Ada orangtua mengecewakan anaknya karena sudah berjanji akan membawa jalan-jalan ke supermarket. Tapi karena alasan sibuk urusan pekerjaan menjadi lupa menepati janjinya. Dan dengan enteng hanya permohonan maaf saja tanpa ada kelanjutannya. Akan tetapi, apakah semua anak bisa dengan lega memaafkan kesalahan para orangtua?.
            Atau kejadian lain, seorang anak yang tidak mau lagi melihat dan bertemu ayahnya gara-gara tanpa sengaja melihat ayahnya menampar pipi ibunya. Sampai seperti itukah?. Sebenarnya mampukah rasa pemaaf itu dibentuk?.
Anak adalah makhluk Allah yang mudah diajak pada kebaikan, terutama anak-anak yang masih terjaga fitrahnya. Tinggal bagaimana kita sebagai orangtua terus konsisten mengajak pada kebaikan. Beberapa hal yang mungkin bisa kita lakukan adalah :
1.      Membaca Doa dengan kesungguhan dan bersuara jelas di depan anak.
Selesai sholat dan berdzikir (untuk kaum muslim), ajak anak-anak untuk bersama-sama memohon ampun kepada zat Yang Paling Mulia, dengan suara sedikit kuat. Di pertengahan doa, selipkan kata-kata “ Ya Allah, ampunkanlah dosa kami, apabila kami pernah menyakiti perasaan orang lain. Jadikanlah kami pribadi yang pemaaf”.
Dengan doa, berpikiran positif, kebersamaan, ketulusan, dan kasih sayang, ,”Rasa Pemaaf” akan tumbuh di diri anak kita.
2.      Bercerita kisah teladan.
Banyak dongeng atau kisah teladan yang bisa kita ceritakan kepada anak kita. Dengan bercerita, karakter-karakter tokoh akan begitu mudah terekam dalam ingatan mereka. Terkadang dibutuhkan improvisasi cerita dengan memisalkan tokoh-tokohnya adalah salah satu nama anak kita. Setelah bercerita, buatlah sebuah kesimpulan, bahwa perilaku baik dan pemaaf akan membawa pada kebaikan.
Dengan seringnya kata-kata positif yang didengar, maka mereka akan menjadi pribadi yang selalu berpikir positif.
3.      Memberikan Contoh Teladan di Setiap Kegiatan.
Dalam bersosialisasi, anak masih mebutuhkan teladan dari orang dewasa. Contoh perilaku yang sering diperlihatkan langsung kepada mereka, adalah sarana efektif untuk mereka belajar bertingkah laku. Jika baik akan berimbas baik, begitupun sebaliknya.
“Teladan lebih baik dari 1000 kata”, begitu kata pepatah. Anak-anak lebih percaya dengan apa yang dilihat daripada apa yang dikatakan. Mengapa kita tidak mulai dari diri sendiri untuk melakukan apa-apa yang kita katakan?.
Anak membutuhkan waktu untuk dapat memahami kesalahannya. Intinya hindari nasihat panjang lebar setiap kali anak melakukan kesalahan. Ajak anak untuk melakukan perenungan dari kesalahan yang telah dilakukan. Misalnya, “Kakak maukah dipukul?, Kalau kakak tidak mau dipukul, kira-kira teman-teman kakak mau dipukul tidak?”. Sehingga anak bisa mengambil kesimpulan berdasarkan komunikasi dan pertanyaan kita.
4.      Tumbuhkan Rasa Kasih Sayang kepada anak.
Menjalin komunikasi yang baik dengan anak, mengungkapkan betapa kita sayang dengan mereka,  dan memberikan pujian apabila mereka melakukan kebaikan. Kasih sayang yang ada, walaupun sederhana,  akan membentuk mereka menjadi pribadi yang penyayang dan pemaaf.
Setiap hal membutuhkan proses. Dengan memulai dari diri sendiri dan lingkungan keluarga, maka budaya memaafkan bisa terlestarikan dengan baik. Saling memaafkan dengan tulus, dimanapun, setiap waktu,  baik di saat Lebaran, maupun di hari-hari lainnya. Semoga kita semua bisa menjadi Pribadi yang Pemaaf.

by Baldwine Honest Gunarto

( Dimuat di Harian TRIBUN KALTIM, Minggu, 28 Juli 2016 )



Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENDIDIK ANAK SECARA MENYELURUH

Di dalam diri seorang anak, terdapat tiga daya yang harus dikembangkan. Yaitu daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif). Menurut tokoh pendidikan kita Ki Hajar Dewantara, untuk menjadi manusia seutuhnya, ketiga daya tersebut harus diwujudkan dan dikembangkan. Atau sesuai dengan ungkapan “educate the head, the heart, and the hand !” . Head, berarti anak cerdas ilmu pengetahuan, Heart berarti cerdas karakternya, dan Hand, anak bisa terampil dan berkembang motoriknya.             Orangtua yang baik, adalah orangtua yang bisa mendidi anak-anaknya berkembang optimal, baik head, heart, maupun hand nya. Untuk anak usia dini, tentu saja dengan kegiatan yang menyenangkan, pembiasaan kegiatan-kegiatan yang baik, menjadi model terbaik bagi anak, dan dengan aktivitas yang menggunakan semua indra anak.              Keterlibatan dan kasih sayang orangtua, baik peran ayah dan ibu  sangat mempengaruhi perkembangan dan kecerdasan anak. Mereka harus melibatkan diri sec

Anak yang “Bossy”

            Pernahkah bertemu dengan anak yang suka memerintah siapa saja untuk memenuhi keinginannya? Jika tidak terpenuhi, maka anak tersebut akan berteriak-teriak. Wajarkah perilaku tersebut ? Banyak anak bertingkah seperti layaknya bos dan suka memerintah orang tua, kakak atau teman sebayanya. Meskipun terlihat alami dan jujur, tapi perilaku yang suka memerintah (bossy) ini tidak bisa ditoleransi. Karena jika sifat tersebut tidak berubah, anak akan mengalami kesusahan untuk bisa mendapatkan teman. Dan hal ini akan memicu anak melakukan kekerasan agar mendapat perhatian atau bisa diterima. Sifat “bossy” tersebut biasanya disebabkan oleh perasaan ego. Menurut teori dari Jean Piaget, fase egosentrisme umumnya muncul pada usia 15 bulan, disebabkan oleh ketidakmampuan anak melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain. Jadi semua masalah akan diteropong dari sudut pandang anak. Misalnya, saat anak merebut mainan temannya, meskipun temannya menangis, ia tidak peduli, karena ia

KEBUTUHAN AFEKSI PADA ANAK

KEBUTUHAN AFEKSI PADA ANAK             Afeksi adalah suatu bentuk kebutuhan cinta dan kasih sayang yang di dalamnya terdapat unsur memberi dan menerima. Afeksi dapat meliputi perasaan kasih sayang, rasa kehangatan dan persahabatan yang ditunjukkan pada orang lain. Setiap orang mempunyai kebutuhan untuk memberi dan menerima afeksi. Saat yang paling penting dalam pemenuhan kebutuhan afeksi adalah pada saat usia dini. Karena, kekurangan afeksi saat usia dini dapat membahayakan perkembangan anak hingga dewasa.             Seorang anak, sejak lahir membutuhkan kasih sayang dari lingkungan terdekatnya. Kita sebagai orang tua harus bisa memenuhi kebutuhan tersebut, dan akan lebih baik sejak anak kita berada di dalam kandungan.             Namun, bisa saja karena suatu hal, anak tidak terpenuhi kebutuhan afeksi tersebut. Bisa jadi karena orang tua mereka dalam kondisi tertekan, tidak bahagia, tidak harmonis, atau berada di lingkungan yang kurang memberikan kasih sayang yang penuh