Langsung ke konten utama

MENGATASI RASA PEMALU PADA ANAK

Ketika anak mulai mengenal dunia luar, selain keluarga dan lingkungan rumahnya, maka sifat pemalu anak akan terlihat. Ada anak yang terlalu pemalu, ada juga yang terlalu percaya diri.  Mengapa anak kita pemalu? Dan bagaimana mengatasinya?
Beberapa situasi yang biasanya dialami anak menjadi pemalu adalah : Bertemu dengan orang yang baru dikenal, tampil didepan orang banyak, atau situasi baru (misalnya sekolah baru, pindah rumah baru). Pada dasarnya, pemalu bukanlah hal yang menjadi masalah atau dipermasalahkan dan bukan merupakan abnormalitas. Akan tetapi, masalah justru muncul akibat sifat pemalu. Misalnya, ketika berada di rumah teman/tetangga, anak ingin buang air kecil tapi malu minta ijin ke toilet,  anakpun menahan keinginan buang air dan akhirnya mengompol. Pemalu juga bisa mengakibatkan anak tidak bisa mengembangkan potensinya, misalnya anak mempunyai bakat menyanyi, tetapi karena pemalu, maka anak tidak mau tampil. Hal ini sangat disayangkan.
Untuk mengatasi sifat pemalu ini, tergantung dari apakah orangtua terus menerus melindungi anak pemalu, atau mendorongnya untuk menghadapi dunia luar.
Beberapa hal yang dapat dilakukan orangtua untuk mengatasi rasa malu adalah sebagai berikut :
1.      Orangtua tidak mengolok-olok sifat pemalu anak atau memperbincangkan sifat pemalunya di depan anak tersebut. Misalnya dengan mengatakan “ Anak saya ini pemalu sekali lho, kadang-kadang saya sampai repot”. Dengan mengatakan hal ini, anak merasa tidak diterima sebagaimana dia adanya.
2.      Mengetahui kesukaan dan potensi anak, lalu mendorongnya untuk berani melakukan hal-hal tertentu. Misalnya anak ingin membeli mobil-mobilan di toko, mintalah kepada anak untuk bicara langsung kepada pelayan toko, mobil yang mana yang diinginkan, dengan didampingi orangtua. 
3.      Melakukan “Bermain peran” bersama anak. Ketika dirumah, ajak anak bermain seolah-olah berada di beberapa situasi, misalnya berpura-pura ada di toko, berpura-pura ada di sekolah, berpura-pura ada di panggung, dan  lain-lain.
4.      Secara rutin mengajak anak berkunjung ke rumah teman, tetangga, atau kerabat, dan bermain disana. Kunjungan dilakukan pada teman-teman yang berbeda.
5.      Mengundang anak-anak tetangga atau teman-teman sekolah untuk bermain di rumah.
6.      Menjadi contoh bagi anak. Orangtua tidak hanya mendorong anak untuk percaya diri, tetapi juga menjadi model dari perilaku yang percaya diri. Anak  biasanya mengamati dan belajar dari perilaku orangtuanya sendiri.
Apapun usaha yang dilakukan, sebaiknya orangtua tidak dalam kondisi “mamaksa”, tetap mendampingi dan tidak melepaskan anak seorang diri.  Dilakukan secara bertahap, hari demi hari, sehingga menampakkan hasil. Dengan tumbuhnya rasa percaya diri pada anak, maka potensi anak bisa berkembang , dan sangat berarti untuk masa depan mereka kelak.

( Dimuat di Harian Tribun Kaltim, Minggu, 12 Mei 2013 )


by : Baldwine Honest Gunarto

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENDIDIK ANAK SECARA MENYELURUH

Di dalam diri seorang anak, terdapat tiga daya yang harus dikembangkan. Yaitu daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif). Menurut tokoh pendidikan kita Ki Hajar Dewantara, untuk menjadi manusia seutuhnya, ketiga daya tersebut harus diwujudkan dan dikembangkan. Atau sesuai dengan ungkapan “educate the head, the heart, and the hand !” . Head, berarti anak cerdas ilmu pengetahuan, Heart berarti cerdas karakternya, dan Hand, anak bisa terampil dan berkembang motoriknya.             Orangtua yang baik, adalah orangtua yang bisa mendidi anak-anaknya berkembang optimal, baik head, heart, maupun hand nya. Untuk anak usia dini, tentu saja dengan kegiatan yang menyenangkan, pembiasaan kegiatan-kegiatan yang baik, menjadi model terbaik bagi anak, dan dengan aktivitas yang menggunakan semua indra anak.              Keterlibatan dan kasih sayang orangtua, baik peran ayah dan ibu  sangat mempengaruhi perkembangan dan kecerdasan anak. Mereka harus melibatkan diri sec

Anak yang “Bossy”

            Pernahkah bertemu dengan anak yang suka memerintah siapa saja untuk memenuhi keinginannya? Jika tidak terpenuhi, maka anak tersebut akan berteriak-teriak. Wajarkah perilaku tersebut ? Banyak anak bertingkah seperti layaknya bos dan suka memerintah orang tua, kakak atau teman sebayanya. Meskipun terlihat alami dan jujur, tapi perilaku yang suka memerintah (bossy) ini tidak bisa ditoleransi. Karena jika sifat tersebut tidak berubah, anak akan mengalami kesusahan untuk bisa mendapatkan teman. Dan hal ini akan memicu anak melakukan kekerasan agar mendapat perhatian atau bisa diterima. Sifat “bossy” tersebut biasanya disebabkan oleh perasaan ego. Menurut teori dari Jean Piaget, fase egosentrisme umumnya muncul pada usia 15 bulan, disebabkan oleh ketidakmampuan anak melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain. Jadi semua masalah akan diteropong dari sudut pandang anak. Misalnya, saat anak merebut mainan temannya, meskipun temannya menangis, ia tidak peduli, karena ia

KEBUTUHAN AFEKSI PADA ANAK

KEBUTUHAN AFEKSI PADA ANAK             Afeksi adalah suatu bentuk kebutuhan cinta dan kasih sayang yang di dalamnya terdapat unsur memberi dan menerima. Afeksi dapat meliputi perasaan kasih sayang, rasa kehangatan dan persahabatan yang ditunjukkan pada orang lain. Setiap orang mempunyai kebutuhan untuk memberi dan menerima afeksi. Saat yang paling penting dalam pemenuhan kebutuhan afeksi adalah pada saat usia dini. Karena, kekurangan afeksi saat usia dini dapat membahayakan perkembangan anak hingga dewasa.             Seorang anak, sejak lahir membutuhkan kasih sayang dari lingkungan terdekatnya. Kita sebagai orang tua harus bisa memenuhi kebutuhan tersebut, dan akan lebih baik sejak anak kita berada di dalam kandungan.             Namun, bisa saja karena suatu hal, anak tidak terpenuhi kebutuhan afeksi tersebut. Bisa jadi karena orang tua mereka dalam kondisi tertekan, tidak bahagia, tidak harmonis, atau berada di lingkungan yang kurang memberikan kasih sayang yang penuh