Langsung ke konten utama

Cerdas Adversity (AQ) melalui Puasa

            Kecerdasan ternyata tidak hanya IQ (Cerdas Intelektual), EQ (Cerdas Emosi) dan SQ (Cerdas Spiritual). Namun, menurut Paul G. Stoltz, setelah melakukan penelitian panjang, ada sebuah kecerdasan baru yang disebut AQ atau Adversity Quotient. Menurutnya AQ adalah Kecerdasan menghadapi kesulitan atau hambatan dan kemampuan bertahan dalam berbagai kesulitan hidup dan tantangan yang dialaminya. Faktor dominan pembentuk AQ adalah sikap pantang menyerah. AQ akan menjadi faktor penentu sukses, jika orang lain gagal, sementara kesempatan dan peluang yang dimiliki sama. Sebagai gambaran, Stoltz memakai terminology para pendaki gunung. Ada tipe quitter (yang menyerah), camper (berhenti di tengah jalan) dan tipe climber (pendaki yang mencapai puncak).  
 Kita sebagai orangtua, harus bisa menjadi tipe climber, gigih dan pantang menyerah, dan tentu saja bisa mendidik anak-anak kita menjadi seorang climber, dengan kecerdasan seimbang antara IQ, EQ, SQ  dan pribadi dengan AQ tinggi.
            Berpuasa di bulan Ramadhan, bisa kita manfaatkan untuk meningkatkan kecerdasan adversity anak. Yang pertama, tentu saja kita menjadi harus menjadi contoh bagi anak. Apabila kita bukan pribadi yang tangguh, maka mustahil mengajarkan anak menjadi pribadi yang tangguh juga. Yang kedua, kita harus bisa menjelaskan sesuai ajaran agama dan menanamkan makna puasa ke anak, bahwa dengan bisa menahan lapar, haus, dan segala nafsu, dari subuh sampai maghrib selama Ramadhan, kita akan mendapatkan pahala. Dari saat sahur bersama, kita ajarkan anak tentang rasa syukur bisa menyantap hidangan sahur, dan berniat bisa puasa penuh hari itu. Untuk anak dibawah 4 tahun kita bisa ajarkan secara bertahap. Kemudian ajak anak sholat berjamaah, dan ceritakan kisah-kisah para nabi yang tangguh dan kuat menghadapi beragam kesulitan. Dengan kekuatan Allah, semua kesulitan bisa teratasi. Ini bisa menginspirasi anak kita.
            Ketika anak mengeluh tentang puasa hari itu, kita bisa mengajarkan tentang arti sabar. Bahwa dengan niat saat sahur, kita harus bersabar menunggu hingga saat berbuka. Kita bisa ajak anak melakukan kegiatan yang menyenangkan, misalnya membantu memasak di dapur, atau memberikan buku-buku bacaan yang menarik dan mendidik.

            Kecerdasan Adversity pada dasarnya adalah bagaimana kita bisa menerima, bersabar, dan terus melangkah, pantang menyerah. Bersyukur pada setiap proses. Melalui puasa di bulan Ramadhan, kita bisa melatih anak belajar sabar, bersyukur dan mengajarkan tentang kata tangguh. Dengan bercermin dari kisah-kisah nabi, anak akan memahami, bahwa dalam kesulitan selalu ada kemudahan.  Dan dengan menikmati indahnya berbuka puasa bersama, anak akan belajar makna bersyukur. Puasa menjadi penuh dengan kebahagiaan.

by : Baldwine Honest Gunarto

( Dimuat di Harian TRIBUN KALTIM. Minggu, 12 Juni 2016 )


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENDIDIK ANAK SECARA MENYELURUH

Di dalam diri seorang anak, terdapat tiga daya yang harus dikembangkan. Yaitu daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif). Menurut tokoh pendidikan kita Ki Hajar Dewantara, untuk menjadi manusia seutuhnya, ketiga daya tersebut harus diwujudkan dan dikembangkan. Atau sesuai dengan ungkapan “educate the head, the heart, and the hand !” . Head, berarti anak cerdas ilmu pengetahuan, Heart berarti cerdas karakternya, dan Hand, anak bisa terampil dan berkembang motoriknya.             Orangtua yang baik, adalah orangtua yang bisa mendidi anak-anaknya berkembang optimal, baik head, heart, maupun hand nya. Untuk anak usia dini, tentu saja dengan kegiatan yang menyenangkan, pembiasaan kegiatan-kegiatan yang baik, menjadi model terbaik bagi anak, dan dengan aktivitas yang menggunakan semua indra anak.              Keterlibatan dan kasih sayang orangtua, baik peran ayah dan ibu  sangat mempengaruhi perkembangan dan kecerdasan anak. Mereka harus melibatkan diri sec

Anak yang “Bossy”

            Pernahkah bertemu dengan anak yang suka memerintah siapa saja untuk memenuhi keinginannya? Jika tidak terpenuhi, maka anak tersebut akan berteriak-teriak. Wajarkah perilaku tersebut ? Banyak anak bertingkah seperti layaknya bos dan suka memerintah orang tua, kakak atau teman sebayanya. Meskipun terlihat alami dan jujur, tapi perilaku yang suka memerintah (bossy) ini tidak bisa ditoleransi. Karena jika sifat tersebut tidak berubah, anak akan mengalami kesusahan untuk bisa mendapatkan teman. Dan hal ini akan memicu anak melakukan kekerasan agar mendapat perhatian atau bisa diterima. Sifat “bossy” tersebut biasanya disebabkan oleh perasaan ego. Menurut teori dari Jean Piaget, fase egosentrisme umumnya muncul pada usia 15 bulan, disebabkan oleh ketidakmampuan anak melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain. Jadi semua masalah akan diteropong dari sudut pandang anak. Misalnya, saat anak merebut mainan temannya, meskipun temannya menangis, ia tidak peduli, karena ia

KEBUTUHAN AFEKSI PADA ANAK

KEBUTUHAN AFEKSI PADA ANAK             Afeksi adalah suatu bentuk kebutuhan cinta dan kasih sayang yang di dalamnya terdapat unsur memberi dan menerima. Afeksi dapat meliputi perasaan kasih sayang, rasa kehangatan dan persahabatan yang ditunjukkan pada orang lain. Setiap orang mempunyai kebutuhan untuk memberi dan menerima afeksi. Saat yang paling penting dalam pemenuhan kebutuhan afeksi adalah pada saat usia dini. Karena, kekurangan afeksi saat usia dini dapat membahayakan perkembangan anak hingga dewasa.             Seorang anak, sejak lahir membutuhkan kasih sayang dari lingkungan terdekatnya. Kita sebagai orang tua harus bisa memenuhi kebutuhan tersebut, dan akan lebih baik sejak anak kita berada di dalam kandungan.             Namun, bisa saja karena suatu hal, anak tidak terpenuhi kebutuhan afeksi tersebut. Bisa jadi karena orang tua mereka dalam kondisi tertekan, tidak bahagia, tidak harmonis, atau berada di lingkungan yang kurang memberikan kasih sayang yang penuh